Istilah kampung biasa digunakan oleh orang kota untuk memandang rendah terhadap orang yang tinggal di perdesaan. Dalam hal ini kampung bermakna "kampungan", tertinggal, bodoh, dan miskin. Tanaman kampung sengaja dipilih sebagai nama blog ini untuk merujuk kepada berbagai jenis tanaman yang terabaikan dalam arus utama pembangunan pertanian, meskipun dalam kenyataannya merupakan sokoguru ketahanan pangan dan identitas masyarakat setempat. Nama tanaman kampung juga sengaja dipilih untuk membesarkan hati seorang ibu bahwa dikatakan kampung bukan selalu berarti kampungan.

Periksa Nama Ilmiah dan Klasifikasi

Nama ilmiah dan klasifikasi tumbuhan selalu berubah sehingga harus hati-hati dalam menggunakannya. Sebelum menuliskan nama ilmiah dan klasifikasi tumbuhan, silahkan terlebih dahulu periksa di:
GBIF Data Portal (seluruh jenis mahluk hidup), ITIS (seluruh jenis mahluk hidup, khususnya di Amerika), IBIS, IOPI Provisional Global Plant Checklist (tumbuhan berbunga),
The Plant List (tumbuhan), Tropicos (tumbuhan berbunga, algae, dan jamur), World Checklist of Selected Plant Families (tumbuhan bangsa tertentu), The Gymnosperm Database (tumbuhan biji terbuka), Annonaceae Database (Annonaceae), Brassicaceae Checklist (Brassicaceae), ILDIS (Fabaceae), Lecythidaceae Pages (Lecythidaceae), MelNet (Melastomataceae), Solanaceae Source (Solanaceae), Umbellifer Resource Centre (Umbelliferae), dan Early Land Plants Today (tumbuhan darat primitif). Silahkan ketik atau tempel nama ilmiah yang diperiksa pada kotak yang disediakan.

Daftar Istilah Morfologi Tumbuhan

Klik huruf awal istilah di bawah ini untuk mencari definisi:
A, B, C, D-E, F-H, I-L, M-O, P, Q-R, S, T-U, V-Z, dari New South Wales Flora Online
A, B, C, D, E, F, G, H, I, J-K, L, M, N, O, P-Q, R, S, T, U, V, W-Z, dari Flora Australia
A, B, C, D, E, F, G, H, I, J, K, L, M, N, O, P, Q, R, S, T, U, V, W, X, Z, dari Angiosperm Phylogeny Website
A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z
istilah tumbuhan palma dari PALMweb

Rabu, 27 Februari 2013

Apa Sebenarnya Yang Dimaksud Pangan Lokal?

Print Friendly Version of this pagePrint Get a PDF version of this webpagePDF
Saya mendapat kehormatan untuk menjadi peserta diskusi kelompok fokus mengenai pangan lokal yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Pikul. Dalam TOR (Terms of Reference) yang disampaikan menyertai undangan disebutkan bahwa tujuan diskusi adalah menngelaborasi dan menemukan definisi dan kriteria pangan lokal sebagai basis pemetaan. Butir-butir yang didiskusikan mencakup (1) Apa yang disebut sebagai pangan lokal (asli)? dan (2) Apakah berkaitan dengan: (a) jarak proses produksi-penjualan-konsumsi, lokasi tanam serta keaslian bibit? (b) jarak untuk mendapatkan benih, kemampuan pembibitan, serta pengetahuan dan keahlian dalam melakukan pembibitan?, dan (c) budaya mengingat menurut sumber-sumber tertentu, pangan dapat disebut sebagai pangan lokal apabila terkandung dalam nyanyian, kidung, ataupun doa-doa yang dipanjatkan dalam upacara-upacara adat?

Menjawab butir-butir pertanyaan tersebut, saya berpendapat bahwa pangan lokal tidak harus asli dalam arti indigenous sebagaimana kata asli digunakan dalam konteks pengetahuan dan kearifan asli (indigeneous knoledge/indegenous wisdom). Penggunaan katas asli dalam kaitan dengan pangan akan menghadapi kendala metodologis dalam hal bagaimana membuktikan bahwa pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu bersifat asli atau bukan. Kasulitan terjadi karena asli bisa berkaitan dengan tradisi yang berkaitan dengan aspek budidaya tumbuhan dan dengan asal geografik dari tumbuhan yang menjadi sumber bahan pangan. Dalam kaitan dengan aspek budidaya, banyak hal yang disebutkan dalam nyanyian, kidung, ataupun doa-doa yang dipanjatkan dalam upacara-upacara adat tidak pernah dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Dari aspek sebaran geografik, sebagian besar tumbuhan yang dapat menjadi sumber bahan pangan mempunyai asal geografik dari luar. Ambil contoh jagung dan labu yang asal geografiknya adalah Amerika Tropik.

Demikian juga dengan cara membudidayakan, dalam hal tumbuhan yang menjadi sumber bahan pangan merupakan tanaman (tumbuhan budidaya). Budidaya jagung secara tradisional di Timor Barat misalnya, yang dikenal sebagai 'satu lubang rame-rame' karena dalam satu lubang tanam dimasukkan bibit jagung, labu, dan kacang nasi sekaligus, tidak jauh berbeda dengan cara budidaya milpa yang dipraktikkan oleh suku bangsa asli Amerika, khususnya Amerika Tropik, dengan membudidayakan tanaman tiga bersaudari (three sisters) secara tumpangsari. Dalam hal jarak, perlu mendapat perhatian bahwa jarak tidak bermakna sekedar jarak fisik, tetapi juga jarak sosial. Suatu lokasi yang mempunyai jarak fisik berkilo-kilometer jauhnya boleh jadi dekat secara sosial bila masyarakat mempunyai hubungan kekerabatan tertentu dengan masyarakat di tempat yang jauh tersebut. Sebut misalnya, masyarakat di Desa Nenas dan Desa Fatumnasi di kawasan Gunung Mutis yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan masyarakat di Desa Noebesi di hulu salah satu cabang sungai Noel Mina. Masyarakat dari Desa Nenas dan Desa Fatumnasi rela berjalan kaki berjam-jam untuk berladang di kawasan Desa Noebesi karena alasan jarak sosial tersebut.

Lalu, apakah bahan pangan harus merupakan sumber karbohidrat? Untuk untuk menjawab pertanyaan ini,  ada baiknya kita menyimak dengan cermat, apa yang dimaksud dengan pangan dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan:
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Definisi di atas jelas memberikan cakupan yang sangat luas terhadap apa yang dimaksud dengan pangan, bukan hanya sebagai sumber karbohidart. Pangan dalam konteks definisi di atas adalah segala sesuatu yang dikonsumsi, baik dengan cara dimakan maupun diminum. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila Prof. James Fox mengutip dalam buku Harvest of the Palm: Ecological Change in Eastern Indonesia, yang menyatakan bahwa orang Rote bukan memakan, melainkan 'meminum' makanannya, untuk merujuk kepada peranan nira lontar sebagai bahan pangan.

Lalu bagaimana dengan pangan lokal, apakah ada kaitannya dengan sesuatu yang asli dalam hal asal tanaman, jarak lokasi membudidayakan dan memperoleh benihnya? Untuk menjawab pertanyaan ini, kembali kita perlu merujuk kepada  Undang-undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang mendefinisikan pangan lokal sebagai "makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat sesuai dengan potensi dan kearifan lokal". Definisi ini memang sedikit melenceng dari definisi mengenai pangan yang menyebutkan pangan mencakup segala sesuatu yang dikonsumsi, yang tentunya mencakup makanan dan minuman. Sebagaimana halnya banyak UU di negeri ini, ketidakkonsistenan definisi memang sudah merupakan sesuatu yang lumrah (maklum, disusun sambil setengah tidur oleh para anggota dewan yang terhormat). Sesuai dengan definisi mengenai pangan, pangan lokal tentu saja seharusnya didefinisikan cukup sebagai "pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat sesuai dengan potensi dan kearifan lokal". Bukankah pengertian pangan sudah didefinisikan sebelumnya?

Mendefinisikan pangan lokal secara sangat luas sebagaimana dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan untuk kepentingan penelitian tentu saja dapat menimbulkan persoalan. Penelitian biasanya dibatasi oleh waktu dan biaya sehingga menggunakan begitu saja definisi pangan yang cakupannya sangat luas tersebut akan menyulitkan dalam pelaksanaan di lapangan. Oleh karena itu, untuk menghindarkan kesulitan tersebut, dalam penelitian biasa dirumuskan definisi operasional, yaitu definisi yang akan digunakan sesuai dengan sifat, lingkup, dan tujuan penelitian. Mengingat penelitian mengenai pangan lokal di Provinsi NTT belum pernah dilakukan sebelumnya maka penelitian perlu dirumuskan sebagai penelitian eksploratif. Mengingat lingkup pangan yang sedemikian luas maka dapat saja secara operasional pangan lokal dibatasi sebagai pangan nabati yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat sesuai dengan potensi dan kearifan lokal. Dalam definisi ini tercakup konteks potensi dan konteks kearifan lokal yang tentu saja juga perlu diberikan definisi operasional. Konteks potensi mungkin bisa didefinisikan dalam hal ketersediaan atau kemudahan memperoleh di lapangan, sedangkan konteks kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai cara menyiapkan bahan pangan lokal tersebut sebelum dikonsumsi. Cara membudidayakan menjadi tidak terlalu penting mengingat banyak jenis pangan lokal diperoleh langsung dari alam, bukan dibudidayakan.

Dalam kaitan dengan kapan bahan pangan lokal dikonsumsi, ada baiknya memang dibedakan pangan yang digunakan dalam keadaan normal atau dalam keadaan rawan pangan. Hal ini berkaitan dengan cara masyarakat bertahan dalam menghadapi bencana, entah itu bencana kekeringan, bencana hujan berlebihan yang selain menimbulkan longsor dan banjir juga dapat menurunkan produksi tanaman. Pembedaan tersebut juga penting dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis pangan alternatif terhadap jenis-jenis bahan pangan yang lazim dikonsumsi dalam keadaan normal. Dengan mengetahui adanya sumber-sumber bahan pangan alternatif ini maka pemerintah tidak perlu menjadi begitu panik setiap terjadi gagal panen padi atau gagal panen jagung. Seorang rekan asal Amerika Serikat yang telah lama menetap di Kupang seringkali mengatakan bahwa sesungguhnya masyarakat NTT "mempunyai lumbung di ladang". Dia mengatakan demikian karena berbagai jenis tanaman umbi-umbian diambil dari ladang menjelang diperlukan untuk memasak, berbeda dengan padi dan jagung yang harus dipanen serentak dan kemudian disimpan di rumah sehingga berisiko dirusak oleh hama, hama fufuk (Sitophilus spp) misalnya.

Bila kemudian penelitian mengenai pangan lokal dibatasi hanya untuk pangan nabati (pangan hewani, bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya ditinggalkan dahulu untuk diteliti lain kali) maka perlu kemudian didefinisikan pada tataran taksonomi mana tumbuhan sumber bahan pangan didefinisikan. Sebagaimana kita ketahui, tumbuhan (dan juga binatang) yang menjadi sumber bahan pangan  dikenali secara ilmiah sebagai satuan taksonomik semisal spesies (jenis) dan sub-jenis (yang mungkin berupa varietas, galur, klon, dan sebagainya). Dalam beberapa hal, pangan lokal mengacu kepada sumber berupa jenis, tetapi dalam banyak hal pangan lokal justeru merujuk kepada sumber berupa sub-jenis. Padi misalnya, dalam tataran jenis bukan merupakan pangan lokal, tetapi justeru sebaliknya pada tataran sub-jenis. Memang banyak pihak yang secara kurang hati-hati menyamaratakan saja jenis padi sebagai bukan merupakan bahan pangan lokal masyarakat lahan kering, padahal sesungguhnya sebelum jagung sampai ke wilayah NTT dibawa oleh orang Spanyol, suku-suku di NTT telah terlebih dahulu membudidayakan padi ladang. Demikian juga dengan pisang, sejauh mana kita mengenal berbagai sub-jenis pisang yang mempunyai peranan penting sebagai sumber bahan pangan di NTT?

Dalam kaitan dengan konteks taksonomi ini maka pangan lokal nabati dapat saja didefinisikan secara operasional sebagai pangan yang diperoleh dari jenis atau sub-jenis tumbuhan yang dikonsumsi oleh masyarakat sesuai dengan ketersediaannya dengan terlebih dahulu diolah sesuai dengan kebiasaan masyarakat setempat. Dalam kaitan dengan definisi operasional ini maka tentu saja diperlukan bantuan pakar botani untuk mengidentifikasi jenis dan sub-jenis tumbuhan yang menjadi sumber bahan pangan lokal tersebut. Pakar botani perlu dimintai bantuannya dalam merencanakan penelitian, terutama dalam merumuskan instrumen pengumpulan data, sehingga data yang dikumpulkan dapat digunakan untuk mendeskripsikan jenis maupun sub-jenis tumbuhan yang menjadi sumber bahan pangan lokal. Pakar botani perlu dimintai pendapat mengenai bagian-bagian tumbuhan apa saja yang perlu dikumpulkan agar dapat dilakukan identifikasi untuk penyusunan deskripsi. Sedapat mungkin, pengumpulan spesimen bagian-bagian tumbuhan perlu disertai dengan pengambilan foto jarak dekat beresolusi baik sehingga nantinya hasil penelitian dapat digunakan untuk mendokumentasikan dan memperkenalkan bahan pangan lokal hasil penelitian.

Anadaikan hal ini bisa dilakukan, alangkah bermanfaat bila berbagai jenis tumbuhan sumber bahan pangan lokal NTT nantinya dapat ditayangkan melalui situs Perkumpulan Pikul. Dengan begitu, mudah-mudahan ke depan NTT tidak hanya dikenal sebagai provinsi gersang yang setiap tahun mengalami rawan pangan sehingga singkatan NTT diplesetkan menjadi 'Nasib Tidak Tentu' dan 'Nanti Tuhan Tolong'. Dengan begitu maka akan menjadi situs yang berbeda dengan situs-situs pemerintah yang dipenuhi dengan foto-foto para pejabat (mungkin karena mereka tidak bisa membuat akun Facebook, flickr, atau Picasa Web dan sejenisnya untuk menanyangkan foto mereka sehingga selain memenuhi situs pemerintah, foto-foto mereka juga memenuhi sudut-sudut kota). Saya sangat menghargai upaya Perkumpulan Pikul untuk memikul tanggung jawab moral guna mengubah citra NTT dari yang selama ini dikenal sebagai provinsi miskin menjadi suatu saat nanti menjadi provinsi yang kaya keanekaragaman hayati sumber bahan pangan lokal.

(Tulisan ini dimuat kembali dengan judul berbeda dan isi yang disesuaikan pada blog gurukecil)

Unduh sebagai PDF
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...